Soft Power Turki sebagai Langkah Ekspansi

Oleh: Muhammad Akbar Angkasa Soft power adalah konsep yang digunakan oleh Joseph Nye dalam menganalisa kekuasaan yang dilakukan oleh negara adi daya setelah perang dingin. Konsep tersebut pertama kali digunakan pada tahun 1980-an. Nye berusaha menjelaskan pengaruh kekuasaan periode post-perang dunia dingin, dimana negara seperti Amerika, China dan India berusaha untuk memainkan politik luar negerinya dengan daya tarik (attractiveness) yang diperlihatkan sehingga dapat mempengaruhi kebijakan politik negeri terkait.
Secara etimologis, soft power adalah turunan dari kata power atau kekuasaan. Pada perang dunia satu dan dua bahkan hingga perang dingin, konsep yang kerap digunakan oleh blok barat dan Uni Soviet adalah hard power, mempengaruhi kekuasaannya dengan mengandalkan finansial dan militer. Seiring waktu, ditemukan bahwa hard power sangat menguras tenaga dan tidak  membuahkan hasil yang memuaskan sehingga menjadi kurang relevan, maka soft power yang memiliki fungsi sama yaitu mengambil kepentingan dari negara luar dengan menjadikannya bahwa ia memerlukan kepentingan tersebut, menjadi gaya baru dalam berdiplomasi luar negeri. Dalam pendekatan soft power, aktor dari kebijakan bukan hanya intervensi luar, namun adanya juga inisiatif dari negara terkait. Sehingga terkesan bahwa kebijakan yang diambil merupakan win-win solution oleh kedua negara.(Soesilowati, 2017) Soft power dilihat dari aktornya terbagi dua, bersifat pemerintah dan sipil. Inisiasi sipil diakui lebih berpengaruh dibanding pemerintah karena dinilai lebih demokratis. Inisiasi publik menyamarkan politik langsung negara, sehingga dapat diterima lebih mudah oleh masyarakat yang dituju. Sedangkan lembaga yang didukung langsung oleh pemerintah memiliki keterbatasan. Hal itu terbukti dengan penelitian Nye dalam melihat upaya China ketika melakukan aksi soft powernya. Dengan demikian, dalam konteks soft power sipil lebih berpengaruh dibanding lembaga pemerintah, dan kondisi ini juga disebut sebagai diplomasi publik. (Nye, 2017)
Turki setelah memasuki era barunya, yang disebut sebagai “Yeni Türkiye” pada masa presiden Erdoğan, memulai reformasi identitas, membentuk kebijakan luar negeri yang khas. Ibrahim Kalın melihat perubahan dilakukan dalam beberapa level, salah satunya adalah dalam perubahan ketika membentuk identitas nasional yang akan ditunjukkan ke arena internasional. Pendekatan yang dilakukan adalah dengan meninggalkan eurosentrisme, seperti yang disampaikan oleh Ahmet Davutoğlu.(İbrahim Kalın, 2011) Turki dengan warisan sejarah yang didapati dari Kesultanan Usmani, merasakan dirinya mampu mempengaruhi daerah yang sempat diduduki sebelumnya dengan pendekatan soft power yang terbagi oleh lembaga pemerintah dan non-pemerintah. Lembaga yang didukung pemerintah seperti TIKA, Maarif Vakfi dan Diyanet Vakfi beraktifitas untuk menampilkan sosok kharismatik Turki. Lembaga seperti non-pemerintah seperti IHH (walaupun mereka lebih menggunakan konsep Diplomasi Kemanusiaan) sangat aktif dalam membantu daerah yang terkena musibah. Wilayah seperti daerah Balkan, Afrika Utara, Asia Tengah menjadi prioritas bagi Yeni Turkiye untuk menyempurnakan soft power-nya. Infrastruktur, pendidikan, instasi pengenalan budaya dibentuk dan diluncurkan. Masyarakat luar mulai mengenal Turki dengan image dermawan dan juga tangguh. Tidak sedikit harapan dari negara Muslim Afrika dan Timur Tengah, bahkan Asia Tenggara yang mengidolakan kepemimpinan Turki sebagai hasil dari penampakan soft powertersebut tanpa mengenali polemik politik dalam negeri Turki sendiri. Ini merupakan sebuah keberhasilan pemerintah dalam membentuk kharisma dan identitas yang ditampakkan didunia luar. (İbrahim Kalın, 2011) Dari segi antropologis, masyarakat Turki yang dulunya memiliki sejarah gemilang pada masa Usmani, telah mengadopsi spirit ekspansionis dan hal itu kembali muncul setelah ekonomi negara mulai membaik, tepatnya post-2000. Masyarakat modern dan religious Turki menggunakan platform modern dan mengambil peran penting dalam terbentuknya soft power. Perluasan pengaruh keluar negeri bukan hanya dilakukan oleh pemerintah, tetapi kelompok religius yang walaupun tidak memiliki pandangan politik yang sama tetap berusaha menyebarluaskan ideologi dan pemikirannya. Karena agama dianggap memilki nilai universal yang dapat diadopsi oleh kaum manapun terlepas dari perbedaan etnik dan budaya. Dapat disimpulkan, disamping faktor politik negara yang melandasi, adanya faktor antropologis pada masyarakat Turki yang diwariskan dari kebiasaan yang ada pada masa kesultanan Usmani. Dua faktor tersebut sangat sesuai dengan kebijakan soft power yang diluncurkan oleh kebijakan negara. Diplomasi publik yang mana merupakan jembatan bagi masyarakat berinteraksi terjalin lancar. Hal tersebut meningkatkan nama baik negara Turki dipermukaan masyarakat yang mana kemudiaannya akan mempengaruhi opini pemerintah.

Artikel Terbaru

Artikel Terkait