Revolusi Islam Iran dan Supremesi Ayatollah

Yasmin A. Rizar Yasmin merupakan mahasiswi sarjana jurusan Hubungan Internasional di Istanbul Medeniyet University. Saat ini, Ia menekuni bidang diplomasi dan politik Timur Tengah. yasmines_blog@yahoo.com

 

Peradaban yang dilalui Iran adalah warisan kekayaan Imperium Persia yang bisa ditelusuri hingga ke masa Kekaisaran Akhemeniyah yang didirikan oleh Cyrus the Great atau Koresh Agung di abad ke-6 sebelum masehi. Namun periode kritis yang membentuk Iran hingga menjadi Republik Islam dengan pemerintahan teokrasi di hari ini terjadi pada masa Dinasti Pahlavi. Dinasti Pahlavi didirikan oleh Reza Shah Pahlavi seusai Perang Dunia pertama, tepatnya di tahun 1925. Penggantian nama Persia menjadi Iran yang memiliki arti “tanah bangsa Aryan” juga terjadi pada pemerintahan Reza Shah. Kekuasaan Reza Shah atas Iran terbukti singkat dan tidak dapat bertahan lama saat ia harus melepaskan kekuatan monarkinya semasa penjajahan Britania Raya dan Uni Soviet di Perang Dunia II, tepatnya pada Agustus 1941. Reza Shah yang kemudian diasingkan dari tanah Iran diganti oleh putranya yang bernama Mohammad Reza Pahlavi, atau lebih dikenal dengan Mohammad Reza Shah. Mohammad Reza diangkat menjadi Shah Iran menggantikan sang ayahanda pada tanggal 17 September 1941. Era baru bagi pemerintahan Shah kedua Dinasti Pahlavi pun lahir, dengan kekuatan baru berada ditangan Mohammad Reza Shah.

Pemerintahan Mohammad Reza ditandai dengan menitikberatkan fokus pada modernisasi Iran yang merujuk kepada nilai-nilai yang ditanamkan oleh hegemoni Barat, yaitu Britania Raya dan Amerika Serikat. Modernisasi tidak hanya digalakkan di sektor industri dan ekonomi, namun juga diterapkan pada edukasi yang memiliki dampak langsung di kehidupan masyarakat. Mohammad Reza dikenal sebagai Shah yang memiliki kedekatan khusus dengan kekuatan Barat, hal ini bisa dilihat dari penguatan nilai-nilai sekularisme yang kerap diambil dari peradaban Barat. Kedekatan sang Shah dengan Amerika dan Britania Raya terbukti tidak selalu membuahkan hasil baik bagi rejimnya, dikarenakan banyak dari masyarakat Iran yang memiliki persepsi negatif mengenai hal ini. Shah dianggap membiarkan Iran ‘dijajah’ oleh Amerika dan Britania Raya, dengan cara mengizinkan kedua negara tersebut mengontrol sumber daya alam Iran dan memberikan privilege khusus bagi residen asing dari kedua negara yang menentap di Iran. Hal ini dibuktikan dengan kepemilikan Anglo-Iranian Oil Company (AIOC) oleh Britania Raya, yang ‘menguras’ minyak bumi Iran demi kepentingan pribadi Britania Raya. Dari sinilah muncul benih ketidakpuasan dan sentimen terhadap rejim Shah yang tidak mementingkan kesejahteraan masyarakat lokal Iran. Pemerintahan Shah juga kerap diwarnai dengan gambaran negatif mengenai kehidupan Shah yang penuh kemewahan dan kemegahan. Tuduhan bahwa Shah melakukan tindakan korupsi pun sering dilayangkan oleh pihak oposisi. Perihal kelompok oposisi yang diklaim kerap disiksa secara brutal oleh badan intelijen rahasia milik Shah yang bernama SAVAK juga semakin memperkukuh gerakan anti-Shah dan mencemarkan image pemerintahannya.

Aliansi strategis dengan kekuatan Barat yang dibangun oleh Mohammad Reza demi memperkuat pegangannya terhadap Iran harus terancam punah saat seorang politisi nasionalis bernama Mossadegh memperkenalkan satu rancangan undang-undang terkait pengontrolan minyak bumi Iran pada tahun 1951. Mossadegh, yang pada masa itu adalah seorang anggota Majlis (parlemen) Iran, menyampaikan visinya untuk menasionalisasikan minyak bumi Iran (Oil Nationalization Act) yang merupakan salah satu sumber daya krusial bagi negara tersebut. Meski tindakan Mossadegh meraih banyak simpati dari masyarakat, Shah mengecam hal tersebut. Mossadegh yang kemudian berhasil menjadi Perdana Menteri Iran harus mundur dari posisinya pada tahun 1953 saat suatu kudeta yang direncanakan oleh pemerintahan Shah dan CIA (Amerika) berhasil menggulingkan Mossadegh yang kemudian diasingkan dari politik Iran.

Kembali menguasai Iran, tahun 1963 Shah mempropagandakan reformasi besar-besaran di beberapa sektor, rangkaian program reformasi ini kemudian dikenal dengan nama Revolusi Putih (White Revolution). Reformasi ini dilakukan Shah dengan tujuan memajukan ekonomi dan memodernisasi infrastruktur serta berbagai institusi yang krusial dalam berkontribusi untuk kemajuan Iran. Beberapa program reformasi yang patut diperhatikan seperti redistribusi tanah, privatisasi perusahaan milik negara, pembaharuan di bidang pendidikan, serta hak memilih (politik) untuk wanita. Shah diketahui mendanai program reformasi besar yang memerlukan dana tidak sedikit ini melalui keuntungan yang ia dapat dari minyak bumi Iran. Iran merupakan negara yang berperan aktif dalam organisasi OPEC dan termasuk ke dalam negara yang mendapatkan keuntungan dari peristiwa Krisis Minyak 1973. Meski Revolusi Putih terbilang sukses dengan beberapa bukti seperti naiknya standar kehidupan di Iran dan turunnya inflasi, revolusi ini bukanlah tanpa kontroversi. Program redistribusi tanah megharuskan tanah milik ulama-ulama Iran diambil alih negara dan didistribusikan ke masyarakat yang bekerja sebagai petani. Perubahan dadakan pada tatanan sosial Iran yang diakibatkan Revolusi Putih juga dituduh memarjinalisasi beberapa masyarakat kecil yang semakin tergerus dan tidak dapat mengikuti arus perubahan, serta hal ini berkontribusi kepada naiknya kesenjangan sosial serta jumlah pengangguran di Iran yang merupakan hasil urbanisasi dadakan akibat dari reformasi industri dan teknologi.

Pada periode inilah Ayatollah Ruhollah Khomeini dari kelompok ulama muncul sebagai seorang figur oposisi penting yang secara ekstrim mengkritik kebijakan-kebijakan Mohammad Reza Shah. Kelompok oposisi yang sudah terlebih dahulu ingin menyuarakan ketidakpuasan mereka terhadap rejim Shah pun mendukung kehadiran Khomeini, yang dipandang sebagai seorang kritik yang vocal dan berani. Mengecam hal ini, pada tahun 1964, Mohammad Reza Shah kemudian mengasingkan Khomeini dari tanah Iran, Khomeini kemudian menetap di Iraq sebelum pindah ke Paris, masih dalam pengasingan. Selama dalam masa pengasingan, Khomeini tidak berhenti mendakwahkan ajaran-ajaran Syi’ah Islam, ia juga tetap bisa menyuarakan kebenciannya terhadap rejim Shah. Dakwah-dakwah Khomeini yang direkam kemudian disebarkan ke berbagai lapisan masyarakat Iran melalui jaringan ulama yang komunikasinya dengan Khomeini tidak pernah putus. Peristiwa ini kemudian dinamai dengan Cassette Revolution atau Revolusi Kaset, dikarenakan penyebaran rekaman dakwah Khomeini dilakukan dengan instrumen kaset ataupun telepon genggam.

Periode yang mengikuti Revolusi Putih hingga pengasingan Khomeini merupakan periode yang penuh dengan gejolak oposisi dan demonstrasi atas kekuasaan Shah. Berbagai kalangan dengan bermacam latar belakang ideologi menyatukan visi mereka yaitu keinginan untuk menggulingkan Shah. Meskipun begitu, gerakan anti-Shah ini tidak memiliki kesamaan lain selain ketidaksukaan mereka terhadap Mohammad Reza Shah. Satu-satunya pemersatu mereka adalah kebencian atas rejim Shah. Dalam hal ini, pendukung kelompok para ulama berhasil mendominasi suara oposisi terhadap Shah, dengan Khomeini sebagai figur utama dan ‘ketua’ dari gerakan anti-Shah. Perlu diketahui bahwa tidak semua dari kelompok demonstran mendukung Syi’ah Islam dan para ulama, seperti Hedayat Matin-Daftari, seorang anggota National Democratic Front pada saat periode demonstrasi melawan Shah berlangsung, ia menekankan bahwa yang diinginkan oleh sebagian besar demonstran sebenarnya adalah kebebasan dari rejim opresif, penegakan demokrasi dan pemerintahan sekular. “None of these people went on strike to establish an Islamic Republic” adalah komentar Hedayet di salah satu dokumenter Al Jazeera yang mengulas peristiwa Revolusi Islam Iran.

Mulai dari awal tahun 1978, Shah harus menerima kenyataan bahwa kekuatan terbesar gerakan oposisi yang akan menggulingkannya ada di tangan kelompok ulama. Gerakan anti-Shah semakin meluas ke seluruh penjuru Iran dan sebuah revolusi adalah hal yang sangat mungkin terjadi. Meski sebagian dari para ulama dipandang tidak menyuarakan kritik mereka secara ekstrem dan dianggap sebagai kelompok yang masih bisa diajak kompromi dalam masalah pemerintahan Shah, Khomeini dipandang sebagai kritikus yang tidak bisa diajak tawar-menawar dalam hal perlawanannya terhadap rejim Shah. Objektif utama Khomeini dari awal adalah pendirian Republik Islam dan hal ini tidak dapat diubah oleh siapapun.

Mulai dari awal tahun 1979, kesehatan Shah semakin memburuk karena penyakit kanker yang dideritanya, dan situasi di Iran sudah mencapai level dimana kejatuhan Dinasti Pahlavi bukanlah hal yang bisa dihindari. Shah pun lalu melarikan diri dari Iran pada tanggal 16 Januari 1979, tujuannya yang pertama adalah Mesir, sebelum kemudian pindah ke Maroko dan Meksiko, dan akhirnya menetap di Amerika Serikat untuk pengobatan kanker.

Kembalinya Khomeini ke tanah Iran pada Februari 1979 menandai puncak Revolusi Islam yang akan menggulingkan Dinasti Pahlavi dengan resmi. Tepatnya pada tanggal 11 Februari 1979 kekuatan Dinasti Pahlavi resmi dihapus dari pemerintahan Iran. Shapour Bakhtiar, seorang politisi yang ditunjuk Shah untuk menjadi Perdana Menteri terakhir sebelum ia melarikan diri dari Iran berencana membentuk suatu pemerintahan yang sekuler post-revolusi, selagi tetap memberikan posisi penting kepada Ayatollah Khomeini di pemerintahan. Namun ide ini ditolak oleh Khomeini, yang menginginkan Republik Islam dan bukan alternatif lain. Khomeini ingin menerapkan konsep Vilayat-e-Faqih, yaitu kekuasaan di bawah perwalian ulama. Konsep Vilayat-e-Faqih men-transfer segala kekuatan politik kepada seorang faqih, yaitu kelompok Ayatollah atau ulama tinggi Iran. Tidak hanya itu, implikasi dari konsep ini juga menekankan bahwa pemimpin akan memiliki otoritas mutlak dalam segala keputusan penting terkait negara. Khomeini, sang faqih dan seorang ulama yang sudah terpilih untuk menjadi pemimpin Iran selanjutnya pun langsung mengkonsolidasikan kekuatan teokrasinya melalui pendirian revolutionary court yang diketuai oleh Sadeq Khalkali dan bertanggung jawab dalam hal penyebaran ajaran Syi’ah Islam di republik yang baru.

Setelah terbentuknya Republik Islam Iran pada tanggal 1 April 1979, Iran memasuki periode baru pemerintahan berdasarkan supremasi Supreme Leader Ayatollah Ruhollah Khomeini, dengan posisi tinggi dan strategis di pemerintahan didominasi oleh kelompok ulama. Iran memiliki presiden yang dalam pratik kerjanya tidak memiliki kekuatan signifikan dan hanya bertugas menjalankan administrasi negara. Segala keputusan akhir berada di tangan Khomeini, tidak hanya itu, ia juga memiliki otoritas atas badan kehakiman, pasukan militer, polisi, badan intelijen, radio dan televisi. Dia juga memiliki hak veto dalam pemilihan presiden. Iran di bawah Khomeini tidak lepas dari tindakan kekerasan dan penyiksaan secara brutal. Post-revolusi ditandai dengan pembantaian kelompok pro-Shah, pejabat pemerintah di masa Shah, serta anggota SAVAK. Eksekusi para ‘pengkhianat’ pre-revolusi ini diadakan tanpa adanya pengadilan terbuka, mereka yang dianggap bersalah diadili secara tertutup sebelum akhirnya dieksekusi.

Revolusi Islam Iran telah mengubah Iran secara drastis. Republik Islam Iran sangat jauh berbeda dari Iran di zaman kekuasaan Dinasti Pahlavi. Iran sekarang dipimpin oleh seorang Ayatollah yang kekuatannya tidak dapat ditandingi. Perubahan peran Iran di wilayah Timur Tengah juga suatu konsekuensi yang tidak dapat dipungkiri. Iran yang dulu adalah salah satu key strategic ally bagi Amerika Serikat sekarang menjadi salah satu musuh terbesar negara adidaya tersebut. Iran juga menjadi negara yang terisolasi tak hanya dari Timur Tengah namun juga dari komunitas internasional secara general.

Ada beberapa pelajaran yang dapat kita ambil dari peristiwa Revolusi Iran dan naiknya Ayatollah Ruhollah Khomeini menjadi pemimpin yang memiliki supremasi tertinggi di negara yang dulu dikenal sebagai Persia ini. Yang pertama adalah kekuatan suara oposisi. Suara menentang rejim Shah terbentuk dari berbagai macam kelompok dengan berbagai ideologi sosio- politik, tapi disaat yang sama mereka bersatu melawan Shah Iran. Menggulingkan Shah adalah ultimate goal sebelum mereka kemudian terjebak dalam kepemimpinan ulama-ulama Iran. Kedua, Revolusi Islam Iran merupakan contoh nyata bagaimana agama digunakan sebagai instrumen politik (politization of religion) untuk menamai Shah Iran sebagai musuh negara. Agama digunakan untuk memobilisasi massa dan sampai batas tertentu, untuk meradikalisasi protes yang sudah berlangsung, demi pencapaian kepentingan suatu kelompok, dan dalam kasus Iran, kelompok ini adalah para ulama. Yang perlu diperhatikan bukanlah konteks negatif penggunaan agama sebagai instrumen untuk mendorong gerakan revolusi, namun kemampuan ideologi tertentu atau agama itu sendiri yang bisa mengubah sistem pemerintahan dan rejim suatu negara. Ketiga, bukti bahwa bahkan pada rejim yang bersumber bukan dari kekuatan duniawi namun ilahi, mencapai suatu moral high ground atau landasan moral bukanlah perkara yang mudah. Melegalkan kekerasan dan pembantaian yang terjadi dibawah pemerintahan sang Ayatollah bukanlah hal yang akan disetujui semua pihak, meski kekuatan pemerintahannya didasari oleh suatu dogma dan personality-nya sebagai imam besar. Dan yang terakhir adalah, kenyataan bahwa mencapai moderasi adalah hal yang sulit. Shah yang dalam visinya ingin memajukan Iran lewat modernisasi dan bantuan Barat harus dijatuhkan dengan kasus korupsi, ketidakpuasan warganegara Iran atas cara memerintah Shah yang tidak membantu menghilangkan kemiskinan, belum lagi afiliasinya dengan negara seperti Amerika Serikat yang acap kali dianggap mengeksploitasi sumber alam Iran. Namun di bawah pemerintahan Khomeini, penegakan demokrasi di Iran jelas mengalami penurunan, dan tidak bisa dipungkiri bahwa ada sebagian dari kebebasan berekspresi masyarakat Iran yang dibatasi, bisa jadi lebih mengekang daripada saat Mohammad Reza Shah masih berkuasa di tanah Iran.


Daftar Pusaka

  • Roskin, Michael. (2012). Countries and Concepts: Politics, Geography, Culture. NewYork: Pearson. pp. 444-475
  • Pontia Fallahi, How Did Iran Gets Its Name?, 20th of March 2018,https://theculturetrip.com/middle-east/iran/articles/how-did-iran-get-its-name/
  • Kasra Aarabi, What is Velayet-e-Faqih?, 20th of March 2019,https://institute.global/policy/what-velayat-e-faqih
  • Al Jazeera English, Iran 1979: Anatomy of a Revolution, 4th of February 2019,https://www.youtube.com/watch?v=SJzuRf3Pyjk

Artikel Terbaru

Artikel Terkait