Nazaruddin
Penulis merupakan lulusan UIN Sunan Kalijaga, Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. Saat ini bertugas sebagai Guru bidang studi Quran Hadis di MIN 14 Aceh Tengah. Pemerhati kajian studi Al-Quran.
Keterkejutan hingga lahir gaya belajar berbasis daring tidak terlalu berpengaruh pada level pendidikan tinggi. Tentunya mahasiswa lebih cakap dan terlatih secara mental dalam pembelajaran mandiri. Namun, level siswa membutuhkan energi lebih dalam menyikapinya. Sebagaimana media menginformasikan bahwa dalam pelaksanaannya ada seorang ibu menangis saat menghadapi sistem daring ini (Serambinews.com, 21 April 2020). Rasa haru, rindu, syukur, sabar, cemas, dan kesal, lumrah terjadi saat belajar di rumah semasa Covid-19.
Dalam ambang batas ini, titik tolak utama dalam pembelajaran berbasis daring diduga berawal dan berakhir pada spirit kegairahan terhadap ilmu pengetahuan yang diiringi nilai-nilai moral. Tentu para guru dan wali siswa menjadi pemain utama dalam menuntun siswa ke arah hakikat pendidikan. Nilai komitmen dan totalitas tidak mungkin tidak dilibatkan semasa pendakian tujuan. Di sisi lain, peran wali siswa dalam pembelajaran daring sama sekali tidak bisa diabaikan. Keterbatasan fasilitas dan minimnya pengalaman, “memaksa” para wali untuk aktif berpartisipasi dalam mewujudkan asa pembelajaran. Sekurangnya menjadi fasilitator siswa saat pembelajaran dari rumah, agar siswa mampu mengolah informasi secara tepat sasaran. Namun tanpa kreatifitas guru, pembelajaran daring akan terasa jenuh dan membosankan. Butuh kecakapan guru dalam mengoperasikan jaringan online; melayani transfer ilmu pengetahuan, keterampilan, dan keteladanan; menyajikan materi secara kreatif dan menyenangkan; menginspirasi siswa agar aktif berperan; dan mengendalikan kelas daring hingga terciptanya kerjasama antar siswa. Ketertarikan siswa ditentukan oleh kemampuan guru dalam menjembataninya untuk menjadi peserta didik sejati (long life learner). Harapannya, siswa menyadari bahwa belajar tidak hanya di sekolah, sehingga ia tidak pernah puas dan terus memupuk rasa ingin tahu sedari dini. Selama proses pembelajaran daring, sikap dan ucap yang ditunjukkan oleh guru dari awal sampai akhir menjadi contoh bagi peserta didik. Misalnya selalu memulai pembelajaran tepat waktu (sebagai nilai disiplin), mengucapkan salam ketika memulai dan mengakhiri kelas (sebagai nilai santun), berdoa sebelum memulai dan mengakhiri pelajaran (sebagai nilai religius), mengabsen (sebagai nilai disiplin), mendoakan kebaikan untuk yang tidak hadir (sebagai nilai sosial), mengulang materi sebelumnya (sebagai nilai tanggung jawab), menyampaikan materi baru (sebagai nilai futuristik), melibatkan siswa dalam memecahkan masalah (sebagai nilai kreatif, mandiri, dan percaya diri), mengumpulkan tugas (sebagai nilai kejujuran dan tanggung jawab), mengevaluasi (sebagai nilai introspeksi dan apresiasi), dan tidak lupa menyelipkan pesan atau tagar untuk selalu peduli kesehatan dan kebersihan khususnya dalam menghadapi Covid-19 (sebagai nilai kontekstual dan problem solving). Namun, upaya meningkatkan karakter siswa terkesan minim perhatian dan tak jarang terjebak pada formalitas. Sisi karakter hari ini masih sebatas norma, belum masuk tahap internalisasi nilai-nilai keseharian (Pity Asriani dkk., 2017). Memang dalam menilai sikap tidak serupa menilai aspek pengetahuan atau keterampilan. Sehingga perhatian yang tidak berimbang, pada waktunya akan menjadi bumerang dalam perkembangan pendidikan. Tanpa disadari perihal di atas sering terjadi di era pandemi, misalnya tidak sedikit siswa yang melanggar protokol kesehatan. Bahkan dengan memanfaatkan kesunyian jalan, kawanan pelajar dalam zona merah justru terciduk dalam perkumpulan balapan liar (Liputan6.com, 11 April 2020). Termasuk mahasiswa yang menunjukkan sikap perlawanan terhadap petugas keamanan saat sedang sosialisasi mengenai protokol kesehatan di tempat keramaian (analisaaceh.com, 26 Maret 2020). Kekhawatiran terhadap perilaku seperti ini pada gilirannya melampaui kekhawatiran terhadap Covid-19 itu sendiri. Terlebih ketika akses pengetahuan dan keterampilan cukup mudah diperoleh melalui jaringan teknologi hari ini. Jika tidak bijak, pengguna akan menjadikan teknologi sebagai alat untuk memudahkan keinginan nalar sempitnya semata. Dalam hal ini, tentu sama sekali tidak bermaksud membenturkan nilai-nilai moral dengan kemajuan teknologi. Justru, pada saat sistem komunikasi daring telah menjadi kebutuhan yang tidak bisa ditinggalkan setiap lapisan masyarakat, keterlibatan nilai-nilai moral sudah selayaknya diikutsertakan. Ketimpangan pendidikan pada aspek sikap yang cukup terasa dominan diharapkan segera mendapat perhatian. Era Covid-19 dapat dijadikan sebagai salah satu momentum untuk melatih dan membiasakan siswa dalam menyikapi kemajuan teknologi secara bijak, tentunya melalui rangkaian pembelajaran berbasis daring. Umpama saat siswa secara dominan mulai terobsesi dengan dunia game online, maka bukan hal yang tabu bagi guru untuk masuk dalam dunia itu sebagai proses pembelajaran. Kemudian mengarahkan siswa dengan menyisipkan nilai-nilai moral mendasar. Meski konteks berbeda, nilainya sejalan dengan ungkapan bijak Teungku Hasan Krueng Kale peu ék geulayang watei na angèn(terbangkan layang-layang saat ada angin) (Murizal Hamzah, 2015). Di lain sisi, sebagai upaya menghindari penilaian sikap siswa yang didominasi subjektifitas, perlu adanya instrumen penilaian yang dilengkapi rubrik penilaian. Setidaknya mencakup nilai kejujuran (olah hati), kecerdasan (olah pikir), ketangguhan (olah raga), dan kepedulian (olah rasa) (Pity Asriani dkk., 2017). Instrumen tersebut bermaksud untuk mengukur kecakapan siswa setiap saat. Dalam praktiknya, jika ada siswa yang dinilai kurang mencerminkan, maka teguran secara personal lebih dikedepankan. Dalam arti tidak menjatuhkan semangat siswa secara terbuka di muka umum. Sebaliknya jika guru yang keliru, tidak segan untuk meminta maaf dan mengevaluasi. Setelah mengamati respons khalayak terhadap proses pembelajaran di era pandemi, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) beranggapan bahwa kehadiran guru tetap tak tergantikan oleh teknologi. Sebagaimana pernyataan ketua umum PGRI Unifah Rosyidi dalam konferensi video 22 April 2020 lalu, “pada saat ini semakin terasa jika peran guru tak bisa digantikan teknologi” (Medcom.id). Hal demikian menyisakan paling sedikit satu kemungkinan, bahwa peran guru dalam mentransfer nilai-nilai karakter tanpa perantara apapun masih sangat dibutuhkan. Maka sebagai pemeran utama dalam proses pembelajaran terkini, sosok guru diharapkan mampu menjadi playmaker dalam pergeseran sistem pembelajaran ke arah daring, tanpa mengabaikan prinsip-prinsip pendidikan karakter. Sementara peran strategis wali dalam mewujudkan karakter siswa tentu sangat membantu. Sungguh, awal mula pembentukan karakter anak dipengaruhi oleh keadaan di rumahnya (Ali Syarqawi, 2007). Senada ungkapan populer Ki Hajar Dewantara “setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah”. Maka dalam pembelajaran daring, tentunya wali siswa menunjukkan gaya komunikasi santun. Lalu menyertai dengan edukasi nilai-nilai terpuji sebagai tahap pembiasaan dalam keseharian. Dukungan wali dan lingkungan siswa dalam pembiasaan karakter akan berimbas luas dan bersifat jangka panjang. Termasuk menumbuhkan kesadaran sikap saat menjalankan protokol kesehatan demi memutus rantai Covid-19. Lebih jauh, peran demikian semakin menegaskan bahwa dasar tujuan sektor pendidikan adalah sebagai investasi jangka panjang. Dengan menunjang peran aktif guru, siswa, dan wali siswa akan membuktikan bahwa keberadaan proses belajar-mengajar tetap berjalan. Bahkan, mampu meningkatkan kualitas daya saing dalam lingkup pendidikan. Sebagaimanaloncatan perubahan semestinya lahir di saat sulit dan terjepit. Ujian melawan Covid-19 diharapkan mampu meningkatkan daya tahan dalam menjawab berbagai tantangan pendidikan ke depan. Seperti pesan dalam kisah drama pendidikan India berjudul Raatchasi yang terbit tahun 2019 “melalui pendidikan karakter, pelajar menjadi tertib dan santun, beban polisi atau pihak keamanan lainnya menjadi berkurang”. Kepatuhan tanpa paksaan menjadi tumpuan utama pendidikan yang secara alamiah hidup layaknya tradisi dalam kehidupan (living tradition). Namun, hal itu terkesan asing di lingkungan kita. Berbagai peringatan stadium keras sekalipun masih terabaikan. Seperti imbauan untuk menjalankan keseharian sesuai protokol kesehatan, padahal telah banyak bukti kecerobohan sikap di beberapa negara lain yang pada akhirnya berakibat fatal. Sebagai pelaku pendidikan tentu tetap berupaya menjalankan fungsinya dalam pengembangan keilmuan berbasiskan karakter. Upaya ini merupakan bentuk kerjasama dalam menyokong para petugas medis sebagai garda terdepan. Searah dengan tema Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2 Mei 2020 lalu “Belajar dari Covid-19”. Maka sudah selayaknya Lembaga Pendidikan tampil sebagai “benteng pelapis” sehingga dapat memperkokoh sektor lainnya dan segera menuju new normal. Mau tidak mau, siap tidak siap, pendidikan saat ini berada dalam kemajuan teknologi yang sangat hebat. Masyarakat dituntut untuk ikut bertransformasi secara dinamis untuk mengejar kemajuan. Di era new normal, kebutuhan pendidikan terhadap sistem Internet of Things diduga semakin memuncak. Jika tidak disikapi dengan bijak, boleh jadi sekolah atau madrasah tidak mampu menjadi solusi alternatif dalam mencetak sumber daya manusia unggul dan berkarakter. Maka tantangan demikian harusnya sama sekali tidak menyurutkan semangat perjuangan, karena semakin besar kesulitan semakin besar pula kemudahan yang Allah sediakan. Di antara kemudahan itu berupa peluang terbuka untuk berinovasi dengan berbagai fasilitas yang tersedia, sementara yang dibutuhkan hanyalah niat dan tekad untuk berubah.