Nasib Permainan Tradisional Aceh

Nanda, S.Pd Penulis merupakan mahasiswa jurusan Management Pendidikan di Al-Mustafa International University.   nandaboys98@gmail.com

 

Perkembangan teknologi saat ini tidak bisa dibendung lagi, arus globalisasi terus berputar sangat cepat, melindas apa saja yang didepannya, termasuk permainan tradisional Aceh yang telah menjadi tumbalnya. Sekarang kita sangat jarang melihat anak-anak yang bermain permainan tradisional seperti congkak, aneuk guli, engrang, engklek dan berbagai jenis lainnya. Bahkan banyak anak-anak saat ini tidak mengenal lagi permainan tradisional. Padahal permainan tradisional merupakan salah satu unsur kebudayaan Aceh. Dewasa ini, anak milenial justru lebih dekat dan bersahabat dengan gadget-nya masing-masing, sehingga anak-anak lebih mudah terpengaruh budaya luar yang sebagian nilainya sangat bertentangan dengan nilai lokal sehingga banyak anak-anak yang mengalami krisis identitas, moral dan etika.  Menurut Fernandus Setu sebagai Plt. Kepala Biro Humas Kominfo kepada Okezone bahwa terdapat sekitar 142 juta pengguna internet di Indonesia, dimana 30 juta anak milineal aktif bermain game online setiap harinya. Angka ini merupakan angka yang sangat fantastis.

Bila kita melihat lebih dalam, begitu banyak anak yang kecanduan game online. Kecanduan game ini dapat memicu tindakan kriminal. Pernah dilaporkan terdapat sebuah kasus 7 remaja mencuri uang, rokok, dan tabung gas di sebuah toko untuk membayar sewa alat game online, dan dua remaja merampok penjual nasi goreng untuk mendapatkan uang yang dipakai untuk bermain game. Perilaku seperti ini mirip dengan perilaku pecandu narkoba yang seringkali mencuri uang keluarganya untuk membiayai kebiasaannya menggunakan narkoba. Oleh karena itu, World Health Organisation (WHO) memasukkan kecanduan game online sebagai gangguan kesehatan jiwa.

Hal ini berbanding terbalik dengan permainan tradisional, peneliti permainan tradisional, Zaini Arif mengungkapkan Indonesia memiliki sekitar 2.600 permainan tradisional. Namun dari jumlah tersebut hanya 60 persen yang masih bertahan serta mayoritas dimainkan oleh anak-anak di pinggiran kota dan pedesaan. Penulis sangat menyayangkan makin rendahnya minat anak-anak bermain permainan tradisional lantaran tergeser oleh permainan modern. Padahal dalam permainan tradisional terkandung banyak nilai luhur seperti nilai agama, pendidikan, karakter, norma dan etika yang sangat bermanfaat bagi anak dalam mengembangkan kreativitasnya.

Hal demikian sesuai dengan penelitian Hayuningtyas bahwa permainan tradisional dapat mengembangkan kreativitas anak. Permainan tradisional Aceh tidak hanya sebagai media rekreasi, bersenang-senang saja. Namun permainan tradisional dapat membuat anak kuat secara fisik maupun mental, sosial dan emosi, pantang menyerah, bereksplorasi, bereksperimen, serta dapat menumbuhkan jiwa kepemimpinan. Permainan modern memang perlu untuk diketahui oleh anak-anak saat ini agar mereka tidak gagap teknologi. Namun peran orang tua juga penting dalammemperkenalkan permainan tradisional agar tidak dilupakan oleh generasi milenial.

Justru sebaliknya, kebanyakan orangtua saat ini seolah tidak peduli terhadap dengan nasib permainan tradisional. Bahkan orangtuanya lebih senang melihat anaknya bermain gadget ketimbang permainan tradisional Aceh seperti aneukguli. Padahal bila kita mau melihat realita yang terjadi saat ini bahwa permainan modern dapat memberikan dampak buruk bagi anak seperti sebagai berikut ini:

1. Anak cenderung kurang berkomunikasi verbal. Kehadiran game online, membuat anak menghabiskan waktunya lebih banyak di depan layar komputer. Anak jarang bertatap muka dengan anggota keluarga, teman sebaya dan lingkungan sekitarnya sehingga mengakibatkan anak kurang terlatih dalam berkomunikasi.

2. Anak yang gemar bermain gadget akan cenderung memiliki sifat ego-sentrik, ia menganggap bahwa tidak perlu bergaul dengan orang sekitarnya secara langsung. Padahal sebagai makhluk sosial, ia perlu berhubungan dengan orang lain secara langsung.

3. Anak cenderung memiliki sifat ketidaksabaran, ia terbiasa dengan serba cepat hingga ia tidak menghargai pentingnya sebuah proses.

4. Anak berkembang sebagai sosok yang individualistik sehingga ia akan sulit bersimpati, dan tidak memiliki kecerdasan emosional (EQ), padahal EQ sangat berpengaruh terhadap kesuksesan anak kelak.

5. Berdampak tidak baik pada keadaan fisik anak. Ia cenderung kurang bergerak sehingga mengakibatkan otot-otot punggung dan tangan menjadi kaku. Bahkan menurut Genis Ginanjar Wahyu (2009) bahwa minimnya gerak pada anak yang gemar bermain game online dapat mengakibatkan peningkatan resiko obesitas.

6. Anak yang keseringan bermain permainan modern akan berprilaku agresif. Permainan yang menggunakan prinsip online atau berkaitan dengan internet biasanya akan memicu pemainnya untuk melakukan tindakan agresif apabila koneksi internetnya menurun atau hilang. Bahkan acapkali mengeluarkan kata-kata kasar untuk meluapkan kekesalannya.

Setelah melihat sisi baik dan buruk serta efek samping dari game online, penulis berharap agar timbulnya kepekaan dalam masyarakat yang meliputi para orang tua dan guru untuk memperkenalkan permainan tradisional kepada generasi milenial, guna menjaga nilai identitas dan budaya serta menyempurnakan perkembangan anak.

Artikel Terbaru

Artikel Terkait