Mengenal Maulana Rumi Melalui Matsnawi

Oleh: Nazaruddin  

Anggur itu dari alam sana, dan bejana-bejana dari alam sini;

bejana terlihat, namun anggurnya tersembunyi!

Benar-benar tersembunyi dari pandangan jasmani,

tetapi terbuka dan nyata bagi sang ruhani!

Oh Tuhan, mata kami buta!

Ampunilah kami, dosa-dosa kami berat membebani!

Engkau tersembunyi dari kami, meski seluruh langit dipenuhi

cahaya-Mu yang lebih terang daripada bulan dan matahari!

Engkau tersembunyi, namun menyingkap rahasia tersembunyi kami!

  Di antara karya monumental Maulana Jalaluddin Rumi mengenai pendidikan ruhani adalah Matsnawi. Kitab ini diawali dengan kisah sebuah seruling buluh betapa ia mengadu, keluhkan nasib terusir dari kampung halaman. Siapa pun yang bermukim nun jauh dari rumah pastilah merindu hari dia akan kembali. Bagaikan keluh kesah seruling karena ia terpisah dari induknya, batang bambu. Jalan untuk mencapai kerinduannya hanya mungkin jika melalui cinta. Maulana Rumi menyuguhkan isu dan isi Matsnawi sarat dengan pendidikan jiwa. Bermula dari butir-butir pengalaman religius yang dialaminya sehari-hari, Matsnawi dikemas secara apik dan laik dinikmati lintas generasi. Di sisi lain, United Nations of Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) telah menetapkan bahwa tahun 2007 sebagai Tahun Rumi Internasional, bertepatan dengan peringatan 800 tahun kelahirannya. Namun, meski pengarang tidak asing lagi dalam barisan tokoh spiritual dunia, Matsnawi masih minim apresiasi di dunia muslim sendiri. Atas permintaan sahabat sekaligus muridnya Husamuddin, Matsnawi disusun dalam rentang waktu kurang lebih 12 tahun pada abad XIII. Ditulis dalam bahasa Persia, para sarjana kemudian menerjemahkan ke dalam berbagai bahasa, salah satu yang paling intens adalah Nicholson. Ia membutuhkan kurang lebih 30 tahun untuk menyelesaikan terjemahan tersebut ke dalam bahasa Inggris sehingga Matsnawi semakin dikenal dunia. Maklum jika terjemahannya membutuhkan waktu cukup lama, selain muatannya yang tercatat banyak, kemasan dalam bahasa puitis tentu lebih sukar dipahami dibandingkan karya berbentuk prosa biasa. Bait-bait sastra yang berjumlah 2000-an halaman tersebut dimuat dalam enam jilid, sementara versi terjemahannya ini telah dihimpun dalam satu cetakan. Setiap jilid terdapat beberapa kisah dari yang paling kompleks sampai yang sangat sederhana. Dalam versi terbitan Zaman yang diterjemahkan dari terbitan Omphaloskepsis 2001, jilid pertama memuat 16 kisah, jilid kedua 18 kisah, jilid ketiga 18 kisah, jilid keempat 9 kisah, jilid kelima 13 kisah, dan jilid keenam 9 kisah. Setiap kisah terdiri atas beberapa sub-kisah yang sekilas terlihat tanpa tema-tema mengikat, sementara syair mengalir menembus sendi-sendi ruhani. Buku ini juga membedakan bentuk penyandaran kepada Allah dengan huruf kapital dan istilah bahasa yang didemonstrasikan cukup populer dan up to date. Sehingga pembaca lebih mudah memahami syair-syair yang dikemuka.
Kisah-kisah dalam Matsnawi penuh dengan perumpamaan dan perbandingan mengenai ihwal kehidupan dalam batas-batas renungan sang pengarang. Tak jarang pembaca dirangsang untuk memahami secara berulang-ulang. Limpahan rahasia tersingkap saat penggalan syair mampu dicerap melalui penghayatan mendalam. Sehingga pembimbing ruhani dalam hal ini akan sangat membantu seperti kajian Matsnawi dalam halaqah-halaqah tasawuf yang ajarannya kini tersebar luas, termasuk di Nusantara. Perumpamaan-perumpamaan dalam Matsnawi biasanya ditampilkan melalui tokoh hewan, seperti tentang singa yang dibalut sifat keserakahan dan kelinci yang cerdik melawan. Juga petikan pelajaran dari kisah-kisah teladan yang berhubungan dengan para nabi, kaum atau umat tertentu yang familier dalam Alquran, hubungan lintas agama, dan berbagai bahasan yang diyakini terinspirasi dari Alquran. Seperti dalam cetakan terjemahan ini, hampir semua kisah dibubuhi catatan kaki yang bersumber dari Alquran, baik berupa lafaz maupun makna. Uniknya, renungan dalam Matsnawi tidak disimpulkan secara langsung dan terlepas dari sikap tendensius, pembaca diajak dan diantar untuk menyimpulkannya melalui pemahaman atas pengalamannya masing-masing. Di sinilah barangkali duduk penekanan konsep mahabbah yang disajikan, tidak berupaya menjengkali alam pikir seseorang. Terkadang kisah yang sama terulang kembali, boleh jadi sebagai penekanan dan pendalaman saat berkontemplasi. Rumi melalui Matsnawi menawarkan corak pendekatan tasawuf-falsafi dalam menyoroti berbagai persoalan kehidupan. Dikisahkan, dengan kecakapannya ia mampu menghasilkan ide-ide cemerlang secara spontanitas, ungkapannya seketika menjadi syair sehingga membuat para pendengar dan pembacanya terpesona. Tidak hanya mengetuk hati umat Islam, syair dalam Matsnawi diakui semakin menunjukkan wajah Islam yang  kasih sayang dan anti kebrutalan. Bertumpu pada konsep mahabbah, pembaca diuji untuk merefleksikan kembali sejauh mana rasa pencelupan batin sebagai upaya keluar dari timbunan potensi ruhani. Sebagaimana ia menegaskan jika cahaya yang hissiyah (indrawi) tidak mampu diaktifkan apalagi yang bathiniyah, maka tanpa kepatuhan yang tulus atau kesetiaan yang abadi, tak mudah mendekati sang Maha Pengasih. Langkah untuk menuju kepada sumber adalah dengan cara menghidupkan mata batin, sehingga keasyikan akan dinikmati dalam ketenangan sukmawi. Kandungan yang membuat renungan Rumi dalam Matsnawi menjadi istimewa adalah secara esensi tidak berhenti pada pencarian kebenaran akal, namun melampaui sampai ruang-ruang kebijaksanaan. Seperti gambaran kisah mengenai singa yang mengajari serigala dan rubah untuk berburu bersama. Singkat cerita, ketika hasil buruan berupa lembu, kambing, dan kelinci telah dikumpulkan. Singa meminta serigala membagi hasil buruan tersebut. Lalu serigala membaginya sesuai perkiraan logikanya, lembu untuk singa, kambing untuk dirinya, dan kelinci untuk rubah. Lantas singa marah dan membunuhnya dengan sekali hantaman cakarnya. Singa berang karena serigala menganggap bisa dengan mudah berbicara soal “saya” dan “kamu” termasuk “bagianku” dan “bagianmu”, padahal semuanya menjadi hak singa. Sang singa lalu menoleh pada rubah dan ia diminta untuk membaginya, rubah lalu menjawab bahwa semuanya jelas menjadi bagian sang singa. Singa yang senang dengan kerendahan hati rubah justru memberikan semua hasil buruan tersebut pada rubah dan berkata “kau bukan lagi rubah, melainkan diriku sendiri”. Kisah ini mengindikasikan bahwa akal yang diperankan serigala terlampaui dengan kearifan yang diperankan rubah. Rumi juga tak jarang mendasari tafsiran atas ayat-ayat Alquran. Misalnya berkaitan dengan sikap iblis saat menyikapi penciptaan Adam. Setelah mengungkapkan perumpamaan bahwa setiap ciptaan saling membutuhkan, seperti “jika tidak ada orang sakit dan lemah, bagaimana kehebatan seni lintah bisa terlihat?” dan premis lain semacamnya, sebagaimana “kesalahan iblis adalah ketika ia berkata, aku lebih baik daripada dia”. Kesalahan yang sama, selalu meneror jiwa manusia. Tentu pesan demikian mengarahkan pada umat manusia agar tidak berlaku sombong. Namun melalui daya pikat sastra, pesan tersebut mampu menyentuh mata batin paling dalam, sehingga sang pencari jejak hanyut dalam samudra kenikmatan. Sebagai peunutoh, mengutip salah satu untaian sajak dari Maulana Rumi –sang sufi yang berkarir lama di Konya— “dua orang yang tak pernah puas adalah pecinta dunia dan pecinta ilmu”.
Judul Buku: Matsnawi (Bait-Bait Ilahi untuk Pendidikan Ruhani) Penulis: Jalaluddin Rumi Penerjemah: Satrio Wahono dan Hilman Hidayatullah Penerbit: Zaman Tahun: 2019 Halaman: 562 ISBN: 978-602-6273-17-8

Artikel Terbaru

Artikel Terkait