Hilyah Syarifah: “Lukisan” Manusia Paling Mulia

Rahmat Ashari Penulis merupakan mahasiswa pascasarjana jurusan Ilmu Hadis di Istanbul 29 Mayıs University. Ia meneliti tentang problematika dalam Ilmu Hadis dan juga peminat seni kaligrafi. rahmat.ashari27@gmail.com

 


Hilyah merupakan sebuah kata yang berasal dari Bahasa Arab mempunyai makna hiasan, atau perhiasan, secara majas digunakan untuk mengungkapkan ciri-ciri fisik dan sifat-sifat terpuji. Itu dikarenakan seseorang yang mempunyai fisik dan sifat yang baik dan mulia maka seakan-akan menjadi perhiasan bagi dirinya. Sedangkang kata syarif mempunyai makna mulia atau terhormat. Dalam tradisi Ottoman gabungan dua kata ini Hilye-i Şerîf (Hilyah Syarifah) digunakan untuk mengungkapkan ciri fisik dan sifat mulia yang dimiliki oleh Rasulullah SAW,  biasanya ditulis di dalam buku-buku atau kertas yang kemudian dibingkai dan digantungkan di dinding rumah layaknya lukisan.

Dalam sejarah periwayatan hadist, pengumpulan  riwayat-riwayat yang berkaitan dengan ciri-ciri fisik, akhlak-akhlak mulia dan hal-hal lain yang berkaitan dengan kehidupan pribadi Nabi Muhammad SAW telah dimulai sejak masa para shahabat. Riwayat-riwayat ini kemudian diajarkan kepada generasi sesudah mereka yang belum pernah bertemu langsung dengan Rasulullah SAW sehingga mereka dapat mengenal dan mengetahui ciri dan sifat-sifat mulia Nabi mereka sehingga dapat mengikuti jejak-jejaknya. Riwayat-riwayat ini terus diajarkan dari generasi ke generasi hingga akhir dikumpulkan dalam kitab-kitab khusus, sehingga lahirlah sebuah cabang ilmu baru yang disebut dengan Syamâil. Kitab-kitab yang paling terkenal di dalam tradisi syamâil diantaranya adalah Asy-Syamail un-Nabawiyyah wa al-Khashâish ul-Mushtafawiyah karya At-Tirmidzi (w. 279 H.), Al-Anwar fi Syamail in-Nabiy il-Mukhtar karya Al-Baghawi (w. 516 H.) dan Asy-Syifa bi ta’rifi huquq il-Musthafa karya Al-Qadhi Iyadh al-Yahsubi (w. 544 H.).

Dalam tradisi ajaran Islam terdapat larangan menggambar atau melukis gambar seseorang yang mulia karena ditakutkan bisa membawa kepada pengkultusan yang berlebih sehingga sewaktu-waktu bisa membawa kepada kesyirikan. Oleh sebab itu muncullah seni-seni alternatif untuk mengungkapkan hilyah atau keistimewaan dan pujian kepada Rasulullah SAW diluar seni gambar atau lukisan seperti syi’ir (qashidah) dan kaligrafi, yang mana di dalam kesenian-kesenian ini juga dapat “dilukiskan” ciri-ciri dan sifat mulia beliau lewat kata-kata dan tulisan.

 

 

Dalam tradisi kesenian kaligrafi Turki Utsmani Hafız Osman Efendi (w. 1110/1698), merupakan khattat/kaligrafer pertama yang menulis hilyah dalam format tulisan diatas kertas sehingga bisa menjadi alternatif dari lukisan fisik. Karya kesenian ini kemudian disebut dengan lauhah hilyah syarifah (hilye-i şerif levhası) yang berarti papan tulisan yang memuat ciri-ciri  fisik dan sifat mulia Rasulullah SAW. Biasanya di atas lauhah tersebut dituliskan riwayat-riwayat tentang Baginda Nabi yang dinukilkan oleh para shahabat-shahabatnya. Diantara riwayat yang paling masyhur dan sering dipakai di dalam kesenian ini adalah hadist yang diriwayatkan oleh Sayyidina Ali, sepupu dan juga suami dari anak perempuannya tercinta Fatimah Az-Zahra:

كَانَ عَلِيٌّ إِذَا وَصَفَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لَمْ يَكُنْ رَسُولُ اللَّهِ بِالطَّوِيلِ الْمُمَّغِطِ ، وَلَا بِالْقَصِيرِ الْمُتَرَدِّدِ ، وَكَانَ رَبْعَةً مِنَ الْقَوْمِ ، لَمْ يَكُنْ بِالْجَعْدِ الْقَطَطِ ، وَلَا بِالسَّبْطِ ، كَانَ جَعْدًا رَجِلًا ، وَلَمْ يَكُنْ بِالْمُطَهَّمِ وَلَا بِالْمُكَلْثَمِ ، وَكَانَ فِي وَجْهِهِ تَدْوِيرٌ أَبْيَضُ مُشَرَبٌ ، أَدْعَجُ الْعَيْنَيْنِ ، أَهْدَبُ الْأَشْفَارِ ، جَلِيلُ الْمُشَاشِ وَالْكَتَدِ ، أَجْرَدُ ذُو مَسْرُبَةٍ ، شَثْنُ الْكَفَّيْنِ وَالْقَدَمَيْنِ ، إِذَا مَشَى تَقَلَّعَ كَأَنَّمَا يَنْحَطُّ فِي صَبَبٍ ، وَإِذَا الْتَفَتَ الْتَفَتَ مَعًا ، بَيْنَ كَتِفَيْهِ خَاتَمُ النُّبُوَّةِ ، وَهُوَ خَاتَمُ النَّبِيِّينَ ، أَجْوَدُ النَّاسِ صَدْرًا ، وَأَصْدَقُ النَّاسِ لَهْجَةً ، وَأَلْيَنُهُمْ عَرِيكَةً ، وَأَكْرَمُهُمْ عِشْرَةً ، مَنْ رَآهُ بَدِيهَةً هَابَهُ ، وَمَنْ خَالَطَهُ مَعْرِفَةً أَحَبَّهُ ، يَقُولُ نَاعِتُهُ : لَمْ أَرَ قَبْلَهُ وَلَا بَعْدَهُ مِثْلَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

Sayyidina Ali saat menceritakan tentang Rasulullah SAW berkata: “Rasulullah tidak terlalu tinggi dan tidak rendah, berbadan sedang,  rambutnya tidak terlalu keriting dan tidak terlalu lurus namun lurus sedikit bergelombang, wajahnya tidak gemuk dan terlalu bulat, kulitnya putih kemerah-merahan, matanya hitam dengan bulu mata yang panjang, mempunyai persendian tulang yang kuat, tidak memiliki bulu yang tebal tetapi hanya bulu-bulu tipis dari dada sampai pusarnya, kulit tangan dan kakinya terkadang kasar (khususnya setelah pulang berperang dan bekerja berat), ketika berjalan langkahnya kuat dan cepat seperti orang yang turun dari tempat yang tinggi,  jika berbicara dengan seseorang maka ia akan menghadapkan wajah serta badannya kepada orang tersebut, di antara bahunya ada tanda kenabian, dan dialah nabi terakhir, ia adalah orang yang baik hatinya, paling jujur perkataannya, paling lembut tabiatnya, paling baik kepada keluarganya, siapa yang mendekatinya sekejap akan hormat kepadanya, yang bergaul dan mengenalnya lebih dekat akan mencintainya, belum pernah aku melihat orang seperti beliau SAW.”

Rumah-rumah pada masa Turki Utsmani dahulu digantungkan “lukisan” yang bertuliskan hilyah Nabi SAW di ruang tamu dan tempat kerja mereka. Tulisan tersebut biasanya tertutup yang bisa dibuka saat ingin membaca dan memandangnya. Sehingga mereka bisa merasakan seakan-akan Rasulullah SAW ada bersama mereka. Sampai hari ini tradisi menggantungkan “lukisan” hilyah ini masih bisa kita lihat di dinding masjid-masjid, tempat kerja dan rumah-rumah sebagian orang Turki.

Artikel Terbaru

Artikel Terkait