Agama dan Ragam Budaya di Hari Raya

This image has an empty alt attribute; its file name is ilustrasi-malam-takbir-keliling-yang-biasa-dilakukan-oleh-masyarakat-indonesia-tiap-tahunnya-untuk-tahun-ini-harus-ditiadakan-akibat-pandemi-covid-19.-foto-istimewa8b2c65095b8c3db0.md_-1.jpg

Muhammad Akbar Angkasa Penulis merupakan mahasiswa magister jurusan Sosiologi di Ibn Haldun University. Ia peneliti di bidang Syariat Islam Aceh, Identitas Aceh dan Tradisi Pemikiran Islam. akbar.angkasa0@gmail.com

 

Berhari-raya dinegeri orang merefleksikan terhadap saya bagaimana pengaruh budaya menampilkan corak perayaan hari-raya yang berbeda dari satu tempat ke tempat yang lain.  Nilai agama yang dibumbui oleh bentuk/pattern budaya menghasilkan beberapa ritual khas sesuai gravitasi kultur penduduk setempat. Seperti menggunakan baju baru, keliling oboran, bersilaturahmi dan bermaaf-maafan merupakan penjelmaan dari alam metafisika dan penafsiran nilai agama yang kemudian diamalkan dan dijadikan kebiasaan.

Seperti yang disebut di atas, penafsiran nilai agama ini bercorak berbeda satu sama lain. Di Aceh dan secara umum di Indonesia, khususnya di perkampungan, tradisi islam yang sudah diformulasikan pada zaman pre-modern diselamatkan walaupun diwaktu yang sama bergulat dengan arus globalisme. Aspek seperti kegembiraan kolektif dirasakan lebih jelas dengan bentuk aksi dan pikiran seperti pakai baju baru dan juga takbiran yang dilantunkan di menara masjid.  Sedangkan di Turki, secara umumnya, hari raya dipenuhi dengan ketenangan namun kegembiraan yang tersembunyi, tidak terlalu dilantunkan di tempat publik. Contohnya sarapan khusus bersama keluarga besar dipagi hari. Dan ini kemungkinan besar karena hasil dari transformasi yang berlandaskan tekanan kultur yang terjadi awal abad 20.

Di Aceh, pergesekan budaya kapitalisme dengan nilai agama dalam konteks berhari-raya belum seperti bagaimana kaum kapitalis merombak konsep hari besar agama umat Kristiani di Barat. Seperti yang diketahui dunia Kristen sangat tenggelam dengan budaya konsumsi. Adapun di Aceh, tekanan kapitalisme masih berbentuk benih yang mana masih bersaing dengan semangat ke-agamaan lokal. Sedangkan di Turki, anehnya, konsep perayaan hari besar Kristen yang sudah dimodifikasi dengan kaum kapitalist masuk ke budaya perbelanjaan di Turki. Istilah Black Friday (yang kemudian di Islamisasi-kan dengan istilah Bereketli Cuma/Jumat Berkah) dan diskon di akhir tahun yang seiring dengan perayaan Natal dan tahun baru menjadi bagian dari budaya.

Adapun dari segi kultulral-lokal, seperti memakai baju Islami/koko di hari raya masih sangat terlihat di Aceh. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Aceh masih bersikap berani dalam mengekspresikan dunia keagamaan. Dan ini didukung oleh tidak adanya tekanan dari luar sehingga mudah untuk disambung. Hal tersebut menunjukkan relasi yang kuat antara kehendak penghayatan agama dengan aksi. Dengan demikian muslim Aceh bersifat ekspressif dan otentik. Adapun di Turki, akibat tekanan sosio-politik yang berkepanjangan, konsep baju Islami sulit ditemukan, namun itu diganti dengan konsep “baju sopan”. Biasanya ia berbentuk kemeja, jas dan celana kain. Pakaian ini bukan hanya dipakai pada hari besar agama, namun juga pada hari besar lainnya. Jadi, hari besar disatukan, atau hari agama melebur dalam konsep “hari besar”. Dengan demikian, terjadi perubahan yang luar biasa pada titik bagaimana masyarakat Turki menghayati nilai Islam, yang mana bisa dikategorikan bahwa ia bersikap “transformatif”.

Kesimpulannya, kedua masyarakat pada hakikatnya merayakan hari-raya dengan corak yang berbeda. Terjadi ekspressi aksi dalam menampilkan kegembiraan. Di Aceh, hari raya di anggap ekspressif dan autentik. Walaupun pada beberapa aspek terdapat pengaruh arus globalisasi, tradisi yang dibentuk pada masa pre-modern berhasil dilanjutkan. Adapun di Turki, hari-raya dihayati lebih dari segi esoteriknya saja. Dari segi pengeskpresian masyarakat Turki cenderung bersifat transformatif dalam mengkategorikan dunia keagamaan tersebut.

Artikel Terbaru

Artikel Terkait