Baitul Hikmah: Pusat Literasi Umat Islam

Oleh: Taufiq Kurniawan, MA Alumni Pascasarjana Sejarah Islam, Marmara University   Pada abad pertengahan, Kota Baghdad merupakan kota pusat budaya, pendidikan dan perdagangan. Hal ini didukung oleh pemerintahan Bani Abbasiyah yang menguasai seluruh wilayah Mesopotamia hingga sebagian wilayah Asia Barat dan Asia Tengah. Secara geografis, Kota Baghdad juga dilewati oleh Jalur Sutra. Hal ini sangat mendukung akan perkembangan sektor pendidikan dan perdagangan. Perkembangan sektor pendidikan di Kota Baghdad dapat dilihat melalui keberadaan perpustakaan besar yang bernama Baitul Hikmah (Rumah Kebijaksanaan). Baitul Hikmah adalah pusat ilmu dan budaya yang dibangun oleh Khalifah Al-Ma’mun dari Bani Abbasiyah pada tahun 830 M. Sebagai pusat ilmu, banyak sekali manuskrip-manuskrip kuno dari berbagai bahasa serta penerjemahan berbagai disiplin ilmu ke dalam bahasa Arab di tempat ini. Sebelum Baitul Hikmah dibangun, proses penerjemahan berbagai manuskrip ke dalam bahasa Arab sebenarnya telah dimulai pada masa Bani Umayyah. Sebagaimana Khalid bin Yazid bin Muawiyah pernah menerjemahkan kitab-kitab klasik ilmu kedokteran, astronomi, dan kimia kepada para pendeta dari bahasa Qibti dan Yunani ke dalam bahasa Arab. Hal ini dilakukan karena Khalid merupakan sosok pangeran yang ingin mendalami berbagai ilmu. Selain itu, Khalifah Bani Umayyah Marwan bin Hakam dan Umar bin Abdulaziz juga pernah melakukan hal yang sama meski hanya mengkhususkan penerjemahan kitab ilmu kedokteran saja. Pada masa Bani Abbasiyah, proses penerjemahan mulai dilakukan oleh Khalifah Al-Mansur. Pada masa ini proses penerjemahan mulai melingkupi ilmu filsafat, sastra, kedokteran, matematika, geometri, dan mantik. Tidak hanya bahasa Yunani dan Qibti, penerjemahan juga dilakukan dari bahasa Persia, Suryani, Sanskerta dan India. Sebelum berdirinya Baitul Hikmah, Khalifah Al-Mansur mendirikan perpustakaan khusus di istana dengan nama Hizanatul Hikmah. Semua kitab yang telah diterjemahkan, disimpan di perpustakaan ini. Proses penerjemahan juga berlangsung pada masa Khalifah Harun Ar-Rasyid dan Al-Ma’mun. Khalifah Al-Ma’mun pernah beberapa kali mengirimkan utusan ke wilayah Bizantium untuk membeli beberapa kitab Yunani kuno untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Disebabkan banyaknya kitab yang mereka miliki, Khalifah Al-Ma’mun mendirikan perpustakaan baru di luar istana yang dikenal dengan nama Baitul Hikmah pada tahun 830 M. Sama halnya dengan kantor pemerintahan pada umumnya, di perpustakaan Baitul Hikmah sendiri ada puluhan pegawai kerajaan yang bekerja di sana. Di antaranya: muallif (pengarang), mutarjim (penerjemah), katib (penulis), mustansih (penulis ulang) dan mujallid (pencetak). Salah seorang penulis kitab Al-Fihrist (daftar pustaka) terkenal yang bernama Ibnu Nadim, pernah meneliti ribuan kitab di perpustakaan ini. Menurut Ibnu Nadim, ada lebih dari 40 penerjemah yang menguasai berbagai bahasa yang berkerja di Baitul Hikmah, di antaranya bahasa Yunani, Persia, Qibti, Nabati, Sanskerta, India, dan lain-lain. Setiap penerjemah mendapatkan imbalan ribuan dinar dari khalifah untuk setiap kitab yang mereka terjemahkan. Bahkan menurut sebuah riwayat, seorang penerjemah pernah dihadiahkan 300.000 keping dinar untuk penerjemahan sebuah kitab dari bahasa Yunani. Di riwayat lain juga menyatakan bahwa Khalifah Al-Ma’mun pernah menghadiahkan para penerjemah ribuan keping emas yang memiliki berat setara dengan kitab yang telah mereka terjemahkan. Hal ini menunjukkan betapa Khalifah Abbasiyah pada saat itu sangat menghargai ilmu pengetahuan. Selain sebagai perpustakaan, Baitul Hikmah juga berfungsi sebagai pusat diskusi, seminar, dan debat berbagai ilmu seperti ilmu kalam, filsafat, dan mantik. Sehingga para ilmuwan serta filosof dari berbagai wilayah datang ke Baghdad untuk mengikuti berbagai seminar, diskusi, dan debat. Selain itu para ilmuwan juga mengembangkan berbagai penelitian ilmiah di Baitul Hikmah, di antaranya penelitian tentang peta dunia, ukuran luas dunia, penelitian tentang penggalian arkeologi piramida, serta berbagai penelitian astronomi. Setelah meninggalnya Khalifah Al-Ma’mun pada tahun 833 M, beberapa Khalifah Abbasiyah seperti Al-Mu’tasim, Al-Watsiq, dan Al-Mutawakkil juga ikut berperan penting dalam mengembangkan Baitul Hikmah meski tidak sebaik Khalifah Al-Ma’mun. Sejak didirikan hingga kehancurannya, Baitul Hikmah telah melahirkan ribuan ilmuwan, baik ilmuwan muslim maupun ilmuwan nonmuslim. Di antara ilmuwan muslim yaitu Ibnu Rusyd, Al-Kindi, Al-Khawarizmi, Albulmasar, Ahmad bin Musa dan lain-lain. Baitul Hikmah dibumihanguskan tepat pada tanggal 13 Februari 1258 M oleh pasukan Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan pada saat pengepungan Kota Baghdad. Semua kitab yang ada di perpustakaan Baitul Hikmah dibakar dan dibuang ke Sungai Tigris. Menurut sebuah riwayat, pada saat invasi terjadi, Sungai Tigris menghitam akibat tinta jutaan buku yang dibuang dari Baitul Hikmah. Walau demikian, seorang filosof Persia yang bernama Nashiruddin Ath-Tsusi berhasil menyelamatkan 400.000 kitab dari Baitul Hikmah sebelum terjadinya penyerangan dari bangsa Mongol.   Sumber: Kaya, Mahmut, ‘‘Beytül Hikme’’, Türkiye Diyanet Vakfı İslâm Ansiklopedisi (DİA), İstanbul: Türkiye Diyanet Vakfı, 1992, VI, s. 88-90. Baltacı, Cahit, İslam Medeniyeti Tarihi, İstanbul: Marmara Üniversitesi İlahiyat Fakültesi Vakfı Yayınları, 2014.

Artikel Terbaru

Artikel Terkait