Balè Institute Bahas Krisis Ketokohan di Aceh

Muhammad Haykal Penulis merupakan mahasiswa pascasarjana jurusan Sejarah Islam di Marmara Üniversitesi. Menjalani riset bidang sejarah relasi Turki Utsmani – Nusantara. Pecinta kopi dan opini koran pagi. muhammadhaykal94@gmail.com

 

Kamis, 16 Juli 2020 – Sejak Republik Indonesia berdiri hingga saat ini, Aceh selalu mengalami pasang surut permasalahan, baik secara internal maupun eksternal. Berbagai headline berita di Aceh pun menyoroti permasalahan bersifat teknis dan berdasarkan data seperti pengangguran & kemiskinan yang merupakan dua masalah terpenting Aceh. Namun, disamping permasalahan teknis, kita juga memiliki masalah secara filosofis, salah satu yang tidak banyak disoroti oleh media & publik adalah krisis ketokohan. Namun seberapa pentingkah krisis ketokohan dalam proses pembangunan Aceh baik dimasa lalu maupun masa mendatang? Pada Kamis kemarin (16/7) Balè Institute telah membahas hal tersebut saat diskusi virtual yang diselenggarakan melalui aplikasi zoom.

Diskusi virtual yang bertajuk “Aceh Pasca Kemerdekaan RI dan Krisis Ketokohan” tersebut dihadiri oleh Murizal Hamzah atau yang akrab disapa MH, seorang wartawan senior dan penulis asal Aceh sebagai narasumber utama dan Muhammad Ikram mahasiswa pascasarjana Karadeniz Technical University, Turkey sebagai moderator dan peneliti di Bale Institute. Beberapa tokoh Aceh lainnya yang turut hadir pada diskusi tersbut adalah Dr. Ir. Surya Darma, MBA (Ketua Umum Taman Iskandar Muda) dan Hamdani Bantasyam (Pengusaha Asal Aceh di Jakarta). Diskusi virual tesebut berjalan interaktif, dimulai dengan mendengarkan Himne Aceh pada saat awal pembukaan, lalu dilanjutkan pemaparan materi oleh narasumber selama 20 menit dan selebihnya dilanjutkan dengan tanya jawab interaktif hingga akhir acara.

Narasumber memulai diskusi dengan membahas kemerdekaan Indonesia dimana Ia menyebutkan bahwa ketika berbicara tentang kemerdekaan Indonesia dan konteksnya dengan Aceh maka kita wajib melihat sejarahnya secara kronologis. Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, namun butuh waktu selama 4 tahun hingga 1949 untuk Belanda mengakui kemerdekaan RI pasca digelar pertemuan Konferensi Meja Bundar (KMB). Kemerdekaan Indonesia itu bermodal dari daerah yang tidak dijajah sepenuhnya oleh Belanda yaitu Aceh, dan juga syarat khusus yang diminta oleh Belanda saat itu adalah, Pemerintah Indonesia diharuskan membayar semua biaya yang dikeluarkan oleh Belanda untuk membangun infrastruktur, seperti halnya, jalan raya dan rel kereta api, dan baru dapat dilunasi seluruhnya pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Kemudian narasumber menambahkan bahwa pada masa awal-awal kemerdekaan, kontribusi Aceh untuk Indonesia sangatlah nyata, menurut MH sendiri terdapat dua tokoh Aceh saat itu yang diterima baik oleh istana, mereka adalah Daud Beureueh dan Ali Hasyimi. Kedua tokoh ini mempunyai pengaruh besar ditingkat Nasional. Sebagai contoh, pengaruh Daud Beureueh dapat dilihat dari penentuan kebijakan di Aceh, dan juga Abu Daud sangat berpengaruh dalam pemenangan partai pemerintah orde baru di Aceh. Sedangkan ketokohan Ali Hasyimi sangat berpengaruh dalam mengembalikan Aceh kepangkuan ibu pertiwi. Pada masa Ali Hasyimi, Masjid Raya Baiturrahman direnovasi menjadi lima kubah sebagai simbol bahwa Aceh telah menerima ideologi Pancasila. Selain dari Abu Beureueh dan Ali Hasyimi juga terdapat beberapa tokoh lainnya seperti Hasan Tiro, Hasyim Arifin, Kasim, Surya Paloh, Azwar Abubakar dan Ibrahim Hasan yang namanya turut serta dibahas sepanjang diskusi.

Diskusi kemudian berlangsung dengan berbagai pertanyaan dari para partisipan. Muhammad Akbar Angkasa, mahasiswa pascasarjana Ibn Haldun University menanyakan terkait dinamika perkembangan dan juga kesinambungan dunia intelektual di Aceh setelah perang dan periode kolonialisasi. Pertanyaan tersebut direspon MH bahwa pada dasarnya spirit peradaban Aceh sangat menjunjung tinggi ilmu pengehtahuan. Itu terbukti dengan tinta emas ulama pada abad 16 dan 17 yang mengukir tradisi intelektual dengan buku buku fenomenal. Pada periode perang Aceh abad 19, maka banyak para ulama yang jatuh syahid, namun perkembangan ilmu pengehtahuan tetap di kembangkan. Adapun pada masa kolonialisme, elit ulama baru muncu, seperti Ayah Hamid yang berhasil mempengaruhi Daud Beureueh, kemudian dilanjuti oleh A. Hasymy dan Hasan Tiro.

Selanjutnya, pada sesi pembahasan sebab dan faktor kurangnya tokoh-tokoh Aceh yang aktif di nasional, Muda Bentara salah seorang peserta diskusi mengatakan bahwa apabila dilihat dari perspektif sejarah, dari dulu populasi Aceh di Pulau Jawa memang sangat kurang, menurut statistik di masa Belanda tahun 1931, terdapat 2000 orang Aceh yang tinggal di pulau Jawa. Sedangkan suku Minang lebih dari itu, rasionya 1:25. Persentase orang Aceh di Jakarta lebih sedikit dari etnis lainnya. Keberadaan orang Aceh di pulau Jawa merupakan hasil dari pembuangan, pengasingan dan koban perang. Sehingga dikemudian hari tokoh-tokoh Aceh yang muncul di Jawa tidak mempunyai hubungan emosional yang dekat dengan Aceh sendiri. Selain itu, faktor lainnya krisis tokoh di Aceh adalah konflik berkepanjangan yang menyebabkan Aceh tidak punya ruang untuk berbenah dan mengembangkan potensinya bahkan efek konflik telah menjatuhkan mentalitas orang Aceh itu sendiri. Hal ini juga turut dibenarkan oleh MH bahwa “Diaspora Aceh terjadi karena perang atau bencana alam”. Ia juga menambahkan bahwa Aceh memiliki masalah dalam membangun tokoh, secara psikologi orang Aceh tidak saling mendukung satu sama lain ibaratnya “Bek na manoek agam dua boh” sehingga ini menghambat tokoh-tokoh lahir di Aceh.

Di akhir diskusi, narasumber meringkas bahwa solusi untuk permasalahan krisis ketokohan Aceh adalah pendidikan, MH mengutip perkataan Ibrahim Hasan “Orang Aceh tidak kurang nasi, tapi kurang informasi.” MH juga berpesan bagi pelajar Aceh yang sedang menuntut ilmu diluar, agar membangun jaringan seluas-luasnya sehingga mempermudah dalam menyerap informasi dan mempromosi Aceh. Terakhir, tokoh Aceh di Jakarta Pak Surya Darma juga berpesan pada dasarnya orang Aceh memiliki kesiapan leadership, ini dibuktikan dengan aktifnya orang Aceh sebagai pemimpin di berbagai komunitas diaspora, namun kita harus berbenah dari segi sifat dan perilaku antar saudara sedaerah, harus saling mendukung satu sama lain dan tidak saling menjatuhkan. Beliau juga mencontohkan bahwasanya suku-suku seperti Bugis, Minangkabau, Batak mereka rata-rata memiliki keinginan dan tujuan untuk menguasai (menjadi terdepan) di Indonesia, sedangkan orang-orang Aceh kebanyakan memberikan sekat dalam memimpin Indonesia.

Link:

Acehnews.id https://www.acehnews.id/news/mengupas-krisis-ketokohan-aceh-dari-Portalsatu.com – http://portalsatu.com/read/news/bal-institute-bahas-krisi

Artikel Terbaru

Artikel Terkait